Sabtu, 23 April 2011

Pasar Tradisional dan Permasalahannya

Pertamakali mendengar kata pasar, langsung terlintas di mata penulis sebuah bangunan satu lantai dengan banyak sekali pintu tarik yang berisi banyak sekali pedagang – pedagang yang menjajakan dagangannya di tempat itu, setelah itu terlintas pula daging – daging yang dijajakan di kios – kios pedagang – pedagang tersebut, yang menimbulkan aroma tak sedap yang langsung menghujani indera penciuman kita dengan bau yang amis dan tentunya sangattidak sedap.

Inilah pasar dimata penulis, beberapa pasar yang pernah penulis datangi yang hamper keseluruhannya adalah pasar tradisional, memiliki kesan yang sama, yaitu pasar yang tidak terlalu bersih, banyak sampah bertebaran dan tentunya aroma yang menusuk hidung.

Salah satu contoh pasar yang penulis datangi adalah Pasar Kramat Jati, pasar yang berada di daerah Kramat Jati ini terletak di tidak jauh dari Rumah Sakit Sukanto atau biasa juga disebut Rumah Sakit Pusat Polisi, bila kita masuk ke pasar ini dengan menggunakan sepeda motor, maka akan dikenakan biaya parkir sebesar Rp.1.000,- untuk tiap jamnya.

Begitu parkir, penulis sudah dihadang oleh sampah yang bertebaran di mana – mana, jangankan di dalam pasar, di pinggir jalan pun banyak pedagang yang menggelar dagangannya di tempat itu, apalagi bila sudah malam dan menjelang pagi hari, pinggiran jalanpun menjadi kios ikan dadakan. Ya, kios ikan, trotoar jalan yang hanya setengah meter itu kini lenyap bahkan badan jalanpun termakan oleh kios – kios pedagang ikan yang berjualan di sini, akibatnya kemacetanpun tak terhindarkan lagi, bila anda menggunakan angkutan umum pada pukul 10 malam dari Cililitan ke arah Bogor, maka anda akan membuang 30 menit sampai 1 jam untuk melewati para pedagang ikan tersebut.

Kembali ke dalam tempat parkir, kali ini penulis menuju pintu tempat parkir yang letaknya 20 meter dari motor yang penulis gunakan di sini, sepanjang jalan penulis mendapati area yang basah bukan karena hujan sebab saat itu tidak hujan, bahkan sehari sebelumnya juga tidak terjadi hujan, tapi air yang ada disebabkan oleh cairan yang dihasilkan oleh para pedagang ikan yang berjualan pada malam hari.

Setelah penulis berhasil melewati pintu masuk tempat parkir motor, penulis menambil langkah menuju pasar tradisional yang ada di bawah toko baju Ramayana, penulis ingin membeli bumbu dapur di pasar itu, langkah demi langkah penulis lewati, pedagang demi pedagang di lalui, akhirnya penulis menemukan pedagang yang menjual bumbu dapur yang penulis inginkan yaitu Oncom, ya, Oncom.. makanan yang terbuat dari ampas tahu ini memang sangat tidak sedap dipandang, dan tidak sedap pula aromanya, namun memiliki kandungan protein nabati yang sangat banyak, karena oncom terbuat dari ampas tahu yang notabene tahu itu berasal dari kedelai, nah bila ampas yang dihasilkan melalui tahu, maka kandungan gizi dari ampas itu lebih tinggi dari tahu itu sendiri. Penulis membeli oncom sebanyak 2000 rupiah, namun ternyata penulis mendapatkan banyak sekali oncom, bila ditimbang maka beratnya lebih dari 1 kilogram.

Setelah membeli Oncom, penulis kemudian membeli bumbunya, kali ini penulis mencari bawang putih, bawang merah, daun sereh, lada, kayu manis dan beberapa helai daun salam.

Pedagang yang menjual bumbu itu ternyata berada tidak terlalu jauh dengan lapak yang menjual oncom, jadi penulis tidak terlalu bersusah payah mencari bumbu tersebut. Penulis mendapatkan semua bumbu itu hanya dengan mengeluarkan uang sebesar 5000 rupiah saja, bayangkan bila penulis membelinya di pasar modern, penulis harus mengeluarkan uang minimal 30 ribu rupiah untuk membeli bahan dan bumbu yang sama seperti yang penulis dapatkan di pasar kramat jati ini.

Contoh lainnya adalah pasar Cileingsi tentunya berada di Cileungsi, bila anda berada di depan pasar ini, maka penulis yakin, anda akan melihat puluhan kendaraan yang berjejer dalam antrian yang panjang, dan hampir tidak bergerak, jarak dari perempatan jalan menuju pasar ini hanya 200 meter, namun untuk melalui 200 meter itu menggunakan angkutan umum atau kendaraan pribadi bisa memakan waktu hampir 1 jam. Selain disebabkan karena sampah yang menggunung karena pembuangan yang sangat buruk, kemacetan juga disebabkan karena banyaknya kendaraan yang parkir pada bahu jalan, kemacetan juga disebabkan oleh banyaknya truk – truk besar yang melalui jalan itu, padahal menurut peraturan kabupaten Bogor, kendaraan yang tonasenya besar tidak boleh melalui jalan umum sebelum pukul 10 malam. Atau dengan kata lain kendaraan – kendaraan besar ini menjadi factor yang banyak berpengaruh terhadap kemacetan yang terjadi pada pasar Cileungsi.

Namun pihak pemerintah Bogor seakan tutup mata pada hal yang demikian, bahkan hampir tiap minggu selalu diadakan acara pentas musik di alun – alun kota Bogor. Padahal setelah selesai acara musik itu sampah yang dihasilkan sangat tidak sedikit, bahkan diperlukan lebih dari 6 buah kendaraan pengangkut sampah yang beroperasi mengangkut sampah ke bantar gebang.

Kembali ke pasar Cileungsi, pada pintu masuk pasar Cileungsi, penulis melihat sebuah gerbang sederhana yang sudah tidak tertata rapi, catnya mengelupas di mana – mana, dan kondisi jalan di gerbang pasar juga tidak kalah menyedihkan dengan sampah yang menggunung dan air kotoran sampah yang menggenang di mana – mana.

Setelah memarkir motor di area parkir tidak resmi, penulis masuk ke dalam pasar dengan perasaan jijik yang sangat besar, selain karena menggenangnya air limbah sampah, juga disebabkan banyaknya lalat – lalat yang berterbangan di sana – sini, yang menyebabkan makin parahnya kondisi pasar saat ini. Konsisi ini diperparah bila kondisi cuaca sedang buruk. Bila hujan mengguyur daerah ini, maka air limbah akan meninggi, dan bisa sampai melewati mata kaki orang dewasa.

Kondisi seperti ini sungguh tidak mengenakkan, apalagi bila kita mendatangi pasar dengan sandal jepit atau sandal biasa, bukan menggunakan sepatu boot.

Kondisi di dalam pasar tidak kalah mengerikan dengan di luar pasar, air limbah yang menggenang di mana – mana membuat gatal siapa saja yang menginjaknya, aroma tidak sedap tercium dari seluruh pelosok pasar ini, bahkan tepat di sebelah pasar ada sebuah sekolah menengah pertama (SMP).

Penulis tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan murid – murid yang belajar di sekolah tersebut. Selain karena banyaknya limbah yang sudah pasti tidak bersih, kemacetan yang sangat juga membuat siapapun langsung berfikir dua kali untuk sekolah di SMP tersebut.

Lalu apa maksud penulis menceritakan kisah yang dialami oleh penulis beberapa waktu lalu itu? Penulis hanya ingin membuka mata kita, seharusnya pasar tradisional tidak boleh di hilangkan dari Ibu Kota ini, karena di dalamnya terdapat persaingan yang sehat diantara para pedagang, dan tidak ada monopoli harga oleh satu pedagang terhadap pedagang lainnya.

Di luar itu semua, penulis akui jika pesar tradisional memang tidak terlalu bagus bila dibandingkan oleh pasar moderen, karena di pasar tradisional kebersihan tempat dagang mereka tidak terlalu terawat, hanya sesekali orang yang membersihkan pasar, biasanya hanya satu kali dalam sehari, padahal banyak sekali sampah – sampah yang dihasilkan oleh pasar tradisional ini, misalkan saja kios ikan, maka akan banyak sekali sisik ikan terserakan yang mengunpul di tempat sampa, menunggu untuk dibawa oleh petugas kebersihan pasar yang bekerja setelah pasar tutup.

Untuk mengatasi beberapa masalah ini, tentunya Dinas Pertamanan DKI Jakarta sudah melakukan upaya – upaya untuk membersihkan pasar tradisional ini, namun sepertinya upaya mereka tidak terlalu berhasil, memang ada beberapa yang berhasil mengatasi sampah dan kemacetan, namun hanya berlaku untuk beberapa hari saja, bahkan masalah serupa bisa dating 1 – 3 hari setelah pembersihan dilakukan.

Semuanya dikarenakan aparat yang tidak melakukan pembersihan secara serius, dan hanya melakukan pembersihan bila ada perintah dari atasan saja. Bila para aparat lebih sigap, maka kemungkinan kemacetan dan masalah lain pada pasar tradisional akan bisa diminimalisir. Ya, diminimalisir, penulis yakin, tidak mungkin menghilangkan kemacetan pada daerah daerah yang sudah terlanjur macet, namun kemacetan – kemacetan itu bisa diminimalisir dengan adanya upaya yang konsisten oleh para aparat pemerintah yang mengatur ketertiban.

Sekian artikel mengenai Pasar dan Kemacetan, semoga informasi yang diberikan penulis dapat bermanfaat oleh kita semua, dan bila ada pihak aparat pemerintah yang melihat artikel ini, maka sekiranya untuk lebih tanggap lagi untuk menertibkan pedagang – pedagang yang berjualan di pinggir jalan. Terimakasih (BP).